Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Catat, "Daerah Mati" untuk Investasi Properti

Kompas.com - 21/02/2015, 22:00 WIB
Hilda B Alexander

Penulis

JAKARTA, KOMPAS.com - Selain kawasan yang tengah bersinar (sunrise) dan prospektif untuk investasi, bisnis dan industri properti juga mengenal "daerah mati" atau sunset area.

Komisaris PT Hanson Land International Tbk., Tanto Kurniawan, mengatakan, ibarat jam matahari kawasan sunset itu sedang berada pada pukul 15.00 hingga 18.00 untuk kemudian redup dan padam.

"Disebut kawasan sunset, karena sudah terbentuk, mapan, dan lengkap fasilitasnya namun perlahan tapi pasti mulai pudar pamornya. Sudah tidak ada lahan sisa yang bisa dikembangkan lagi sehingga sulit untuk mendongkrak kenaikan harga," jelas Tanto kepada Kompas.com, Sabtu (21/2/2015).

Sedangkan menurut CEO Leads Property Indonesia, Hendra Hartono, "daerah mati" adalah kawasan yang tidak memiliki harapan untuk dikembangkan lagi kecuali dilakukan revitalisasi besar-besaran agar semakin menarik bagi calon investor.

Hendra tak menampik jika sunset area merupakan kawasan yang lengkap fasilitasnya plus dekat dengan pusat bisnis dan aktivitas serta berada di pusat kota. Bahkan, bila pun itu sangat mudah diakses, namun karena tak bisa digarap lebih lanjut akibat ketiadaan lahan, maka akan mati.

Dia pun mencontohkan beberapa kawasan lama di Jakarta Barat. Meski bisa diakses dengan berbagai moda transportasi dan dekat dengan pusat bisnis dan aktivitas serta dikelilingi berbagai fasilitas macam mal, rumah sakit, atau sekolah tapi langganan banjir.

"Banyak orang yang tinggal di sana kemudian pindah ke lokasi lainnya. Pasalnya, mereka kerja di pusat kota Jakarta. Sementara kawasan lama tersebut hanya merupakan kawasan perumahan, tidak ada basis ekonomi yang mendukungnya seperti halnya Kelapa Gading," papar Hendra.

Kelapa Gading, kata Hendra, berbeda dengan beberapa kawasan di Jakarta Barat. Di kawasan yang merupakan bagian dari wilayah Jakarta Utara itu basis ekonomi sudah terbentuk yakni jasa dan perdagangan. Warga Kelapa Gading banyak berbisnis dan berusaha di kawasan yang sama.

"Jangan lupa, Kelapa Gading itu kota mandiri. Semua ada di sana mulai dari ruko sebagai tempat usaha dan bisnis, mal, hotel, apartemen, bahkan kantor. Jadi tak mengherankan, meski tiap tahun dilanda banjir, harga lahan dan properti di sana tak pernah surut. Ini yang membuat investor terus mengincar Kelapa Gading," tutur Hendra.

Selain itu, demografi Kelapa Gading juga luas rentangnya, mulai kelas menengah bawah hingga elite tinggal di sana. Saat dikembangkan pada kurun 1970-an, rumah yang dibangun pertama kali adalah tipe kecil yang menyasar segmen bawah. Seiring berjalannya waktu, rumah-rumah tipe besar dan mewah yang dibangun belakangan serta pusat-pusat komersial.

Saat ini menurut data Century 21 Indonesia harga lahan dan properti di Kelapa Gading terus melejit mencapai Rp 50 juta hingga Rp 80 juta per meter persegi.

Bukan wilayah favorit

Sementara beberapa kawasan di Jakarta Barat dan sekitarnya sudah sejak awal dirancang sebagai kawasan perumahan elite dengan dimensi 300 meter persegi ke atas. Alhasil, yang menghuni saat itu adalah kalangan elite dengan motif investasi.

"Kalangan elite punya requirement sendiri yakni perumahannya harus punya privasi tinggi, keamanan terjaga, dan lain-lain hal elitis. Jadinya, ya mati. Tidak ada aktivitas ekonomi," lanjut Hendra.

Kawasan mati lainnya yang tidak memiliki potensi pertumbuhan bagus adalah kawasan Kota Tua, juga di Jakarta Barat, serta Manggarai di Jakarta Selatan. Ketiganya mengalami stagnasi selama satu dekade terakhir.

"Kawasan tersebut padat, butuh penanganan khusus yang tidak saja melibatkan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta, pengembang, juga akademisi dan para ahli lintas disiplin ilmu. Revitalisasi satu-satunya cara untuk mengembalikan kawasan-kawasan tersebut lebih menarik sehingga pertumbuhan harga mungkin terjadi lagi," tandas Hendra.

Sedangkan kawasan Tanah Abang, Thamrin, Tugu Tani, Pasar Baru, dan Pasar Senen, masih punya peluang positif untuk investasi. Hanya, potensi pertumbuhannya tipis. Ini disebabkan, harga lahan dan properti sudah sangat tinggi dengan rentang Rp 30 juta per meter persegi hingga Rp 100 juta per meter persegi.

"Sudah begitu, ada masalah spesifik yang menghambat pertumbuhan kawasan-kawasan tersebut. Kekecualian untuk kawasan Thamrin yang dirancang sebagai bagian dari segi tiga emas Jakarta, kawasan lainnya masih punya handicap berupa penataan yang amburadul, dan kriminalitas yang berdampak pada citra negatif," beber Hendra.

Tak mengherankan, imbuh Hendra, jika Tanah Abang, Pasar Baru, dan Pasar Senen bukan wilayah favorit para pencari hunian untuk ditinggali atau investor untuk mencari instrumen investasi.


Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Baca tentang
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com