Klaim Wilayah Sulu Buka Kotak Pandora

Kompas.com - 13/03/2013, 02:19 WIB

Oleh RENÉ L PATTIRADJAWANE

Kolonialisme dalam berbagai pengejawantahannya, termasuk kapitalisme imperialistik dalam usianya yang masih belia pada ujung abad ke-18, sangat ganas meninggalkan bekas yang tak bisa hilang sama sekali sampai abad ke-21 ini. Bentrokan antara para penyusup yang mengaku sebagai keturunan Kesultanan Sulu (Filipina) dan aparat Malaysia di Sabah telah memakan korban lebih dari 60 orang.

Konflik bersenjata menggunakan peralatan tempur canggih di pihak Malaysia dan pergerakan para penyusup ke wilayah Sabah menyeberang lewat Laut Sulawesi memberi kejutan, baik bagi Filipina, Malaysia, maupun negara-negara anggota ASEAN lainnya, termasuk Indonesia. Kita terkejut ketika tak ada komentar atas korban jiwa yang jatuh dalam peristiwa ini dalam upaya menyelesaikan persoalan ratusan tahun dengan melepaskan butir-butir peluru.

Malaysia tanpa ragu mengerahkan secara penuh kekuatan senjatanya. Filipina, yang menjadi penguasa kedaulatan atas wilayah Sulu di bagian selatan, terkesan tidak terlalu menghiraukan tindak kekerasan yang menghilangkan nyawa manusia dalam sekejap. Perlu disikapi bahwa persoalan klaim wilayah Kesultanan Sulu di wilayah Sabah, yang kini menjadi bagian dari wilayah Malaysia, adalah warisan kolonialisme yang pelik dan memerlukan beberapa generasi untuk menyelesaikannya.

Banyak faktor yang menyebabkan tersulutnya insiden di wilayah Sabah, kawasan seluas 74.000 kilometer persegi yang diklaim sebagai wilayah Kesultanan Sulu. Para pengikut Sultan Sulu itu mengklaim Sabah dari titik wilayah Sungai Pandassan di pesisir barat laut sampai seluruh pesisir pantai timur hingga Sungai Sibuco di bagian selatan. Keturunan Kesultanan Sulu mengklaim wilayah ini mencakup daerah Paitan, Sugut, Bangaya, Labuk, Sandakan, Kina Batangan, sampai ke selatan di Teluk Darvel.

Semua faktor ini terkait dengan imperialisme Inggris di kawasan Asia Tenggara, termasuk beralihnya kekuasaan penjajahan di wilayah Filipina dari Spanyol ke Amerika Serikat. Faktor lain adalah ketika Sabah menjadi obyek manipulasi kapitalisme imperialis melalui perjanjian sewa yang dikeluarkan Sultan Sulu Sri Paduka Maulana A1 Sultan Mohammed Jamalul Alam pada 22 Januari 1878, yang dibuat dalam bahasa Arab dan terjadi kesalahan interpretasi kata pajak pada perjanjian itu dengan leased (disewakan) dan ceded (diserahkan).

Faktor-faktor ini memunculkan pertanyaan, apakah Kesultanan Sulu memiliki hak untuk mengklaim sebagian wilayah Sabah yang dihadiahkan Sultan Brunei pada tahun 1658. Pertanyaan yang menimbulkan perdebatan ini juga berlanjut pada pertanyaan lain, apakah pewaris takhta Sultan Sulu Jamalul Kiram III (74) berhak melakukan invasi ke Sabah.

Akan banyak reaksi dan penolakan, khususnya dari Malaysia, untuk membuka kembali klaim Kesultanan Sulu atas sebagian wilayah timur Sabah ini. Perubahan status klaim kedaulatan akan menghadirkan juga pertanyaan apakah mungkin seseorang (Sultan Jamalul Kiram III) yang menjadi warga sebuah negara (Filipina) juga memiliki kedaulatan di tempat lain (wilayah Sabah yang dikuasai Malaysia).

Akan muncul reaksi kemarahan, khususnya dari kalangan rakyat Sulu, atas wilayah miliknya yang tak boleh ditinggali. Perubahan klaim status Sabah juga berdampak luas, termasuk keputusan Mahkamah Internasional (ICJ) atas wilayah Sipadan-Ligitan yang dianggap milik Kesultanan Sulu dan berada dalam wilayah administrasi Malaysia dengan menggunakan argumentasi chain of title (rangkaian kepemilikan dari Kesultanan Sulu) dalam sidang sengketa dengan Indonesia di mahkamah tersebut pada tahun 2002.

Insiden Sabah bisa mendorong Indonesia membuka kembali klaim atas Sipadan-Ligitan karena Malaysia menyatakan bahwa kepemilikannya merupakan pewarisan dari Kesultanan Sulu. Penolakan penyelesaian masalah Sabah akan menihilkan berbagai klaim tumpang tindih kedaulatan di Asia Tenggara, termasuk di Laut China Selatan. Insiden Sabah akan menjadi kotak pandora baru. Pelik!

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya

Komentar
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com