Rumah Cuci

Kompas.com - 14/12/2012, 03:11 WIB

MULYO SUNYOTO

Di ambang senja bahasa Indonesia, yang keberadaannya kian tersuruk dan tersudut di belantara nama-nama dan cap dagang berbahasa Inggris, masih ada cerita kecil ihwal sebentuk perlawanan kebahasaan yang patut disampaikan. Kisah ini muncul tidak di sebuah pusat keramaian kota besar, tetapi di pasar rakyat Labuan Bajo, Flores, Nusa Tenggara Timur.

Berdiri di antara sederet tempat usaha yang menawarkan aneka barang dan jasa, sebuah bangunan dengan warna cat yang pudar mewartakan jenis usaha di sebidang papan: rumah cuci. Siapa pun yang seumur-umur baru sekali membaca frasa di papan itu sangat mungkin tak perlu repot memahami maknanya sebab frasa itu segera mengingatkan sang pembaca pada frasa lain berpola serupa dengan pemaknaan yang bersinggungan. Kamus Besar Bahasa Indonesia tak mengenal rumah cuci, tetapi sedikitnya merekam rumah makan, rumah gadai, dan rumah ibadah.

Bila rumah makan adalah ’tempat untuk usaha berjualan makanan’, rumah gadai ’tempat usaha jasa pegadaian’, dan rumah ibadah ’tempat beribadah’, rumah cuci kurang lebih ’tempat usaha cuci-mencuci’. Jadi, rumah cuci adalah sebuah istilah Indonesia yang dibentuk warga jauh nun lewat penerjemahan berdasarkan kesesuaian makna, tetapi bentuknya tak sepadan atas laundry, yang memiliki dua arti: ’tempat pencucian’ dan ’pakaian atau peranti berbahan kain yang telah atau mesti dicuci’.

Laundry adalah kata Inggris yang, menurut Webster’s Dictionary, berakar pada kata Latin lavandus ’yang perlu dicuci’, lavare ’mencuci’. Selama ini orang mengenal penatu ’usaha atau orang yang bergerak di bidang pencucian pakaian’ sebagai padanan laundry. Karena penatu tak mengandung muatan makna tempat, sebagaimana salah satu unsur makna yang diusung laundry, kekosongan semantik itu bisa diisi rumah cuci. Jadi, frasa yang ditorehkan di wilayah pantai Manggarai Barat itu bukan menggantikan, tetapi melengkapi keberadaan penatu untuk menerjemahkan laundry sebagai tempat usaha pencucian.

Para pekamus bahasa Indonesia seyogianya kelak memungut frasa itu di bawah lema utama rumah untuk memperkaya jumlah frasa yang terbentuk dengan unsur kata utama rumah. Perekaman tertulis istilah yang lahir dan digunakan di kalangan warga jelata dalam kamus merupakan salah satu bentuk pengawetan dan penguatan sebuah istilah Indonesia di tengah kegandrungan anak negeri pada istilah asing yang sepadan.

Dalam kasus penggunaan laundry, sebagaimana istilah asing lain, daya rambahnya sudah sedemikian jauh: bukan cuma perkakas berbahan kain yang dicuci, tetapi juga mencakup barang berbahan logam.

Istilah money laundering ’pencucian uang’ membersitkan sebuah kesepakatan bahwa tindakan mencuci tidak mesti sebatas pada arti denotatif—membersihkan kain kotor dengan air—tetapi bisa bermakna konotatif: melakukan aktivitas usaha legal dengan memanfaatkan uang dari kegiatan melanggar undang-undang. Money laundering adalah metafora. Kiasan itu menyangkut pemaknaan laundering.

Sebaliknya, laundry motor adalah istilah bentukan analogis tanpa pemahaman bahwa laundry itu bersangkut paut dengan sesuatu yang berbahan kain. Arti laundry lebih khusus dari washing. Bahasa Indonesia meringkus keduanya jadi satu: cuci atau pencucian.

Jadi, istilah rumah cuci tak bermasalah, tetapi laundry motor jelas cacat dalam makna, buta sejarah kata.

Mulyo Sunyoto, Magister Pendidikan Bahasa

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya

Komentar
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com