Teks Iklan dan Gaul

Kompas.com - 30/11/2012, 06:02 WIB

RAINY MP HUTABARAT

Di Indonesia bahasa gaul rupanya punya periodisasi. Tatkala telepon seluler dan internet masih digunakan secara eksklusif, bahasa prokem marak di kalangan orang muda, khususnya di Jakarta pada 1990-an. Kamus bahasa prokem pernah diterbitkan oleh artis Debbie Sahertian. Tatkala media sosial berbasis internet menjadi bagian dalam kehidupan sosial abad XXI dan Indonesia mencatat pengguna Facebook 43,06 juta atau tertinggi ketiga di dunia (2011), bahasa gaul berlabel alay tumbuh. Selain kode-kode emosi yang baku, bahasa alay juga berkembang sebagai bahasa yang cenderung eksklusif. Hanya para pegiat media sosial yang paham kode-kode tersebut.

Di Indonesia pernah ada masa ketika pujangga dan ulama menjadi aktor utama dalam pengembangan bahasa. Bila hendak paham tumbuh kembang bahasa Indonesia, periksalah karya- karya sastra dan agama. Namun, di era digital yang dikendalikan oleh kekuatan kapital yang bersinergi dengan teknologi informasi dan komunikasi, pencipta bahasa paling gencar dan kreatif adalah praktisi iklan dan pegiat media sosial. Banyak jargon verbal dan tekstual merupakan kreasi praktisi iklan. Beberapa contoh: Kalau sudah duduk, lupa berdiri (iklan perabot), Wes ewes ewes, bablas angine (iklan jamu). Lalu iklan rokok: Susah ngeliat orang seneng, seneng ngeliat orang susah, Gampang kok dibikin susah?, Terus terang, terang ga bisa terus-terusan, dan Taat cuma kalo ada yang liat.

Tingginya angka pengguna media sosial, seperti Facebook dan Twitter, kian mempertajam separasi antara bahasa alay dan bahasa resmi. Ciri-ciri teks alay adalah memangkas kata, ringan, bersendi pelafalan, gado-gado khususnya bahasa Inggris, Jawa, dan Betawi. Contoh: Luv U, ciyus (serius), mo (mau), miyapa (demi apa), aq (aku), qt (kita), OMG (Oh My God), gw (gua), oon (bloon), gudnews (good news), otw (on the way), suerrr (swear), gpp (enggak apa-apa), ea (ya), so pasti (sudah pasti), macama (sama-sama), muaach (mengecup pipi). Teks-teks alay tak mau tahu dengan bahasa Indonesia dan Jawa yang baku. Pelafalan menjadi tulisan.

Untuk merebut hati dan memori masyarakat konsumen, praktisi iklan menyerap kreativitas bahasa alay. Karena itu, maknyus, koaya roaya, buanyak yang disorot oleh Beni Setia pada rubrik ini tiga pekan lalu seturut ejaan bahasa Jawa yang resmi harus ditempatkan dalam konteks bahasa iklan dan gaul, khususnya alay. Dalam teks-teks iklan dan alay tak melulu dijumpai bahasa gado-gado, tetapi sekaligus anomali bahasa. Bukankah bahasa Indonesia dari sono-nya juga gado-gado?

Karena itu, mengkritik teks-teks iklan dan alay dialek Surobayan menurut acuan ejaan bahasa Jawa yang resmi bertentangan dengan prinsip penciptaan iklan dan ciri-ciri bahasa alay itu sendiri. Simbiosis mutualistis berlangsung antara teks-teks iklan dan bahasa gaul. Sisipan menurut dialek Jawa Surabayan atau imbuhan bebas seperti kata-kata rrruar biasa dan top markotop akan terus berlanjut. Cuapek, seduap, puanjang, dan lain-lain. Teks-teks iklan dan alay memang dianggap sepele, tetapi jelas ada dan tumbuh!

Rainy MP Hutabarat, Cerpenis

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya

Komentar
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com