Melawan Dominasi Inggris

Kompas.com - 27/04/2012, 03:31 WIB

KASIJANTO SASTRODINOMO

Sebagai ”bahasa dunia” yang paling luas persebarannya di jagat, (bahasa) Inggris tak luput dari perlawanan para penentangnya. Pasalnya, reputasi dunia itu diraup lewat praksis kolonial yang dalam banyak hal merusak tata kehidupan masyarakat terjajah. Maka, perlawanan terhadap dominasi bahasa Inggris itu merupakan bagian dari gerakan antikolonialisme. Yang menarik, menurut Robert Phillipson dalam Linguistic Imperialism (1993), penentang dominasi Inggris tak hanya masyarakat terjajah, tapi juga anggota parlemen Eropa, musuh politik di negara-negara berbahasa Inggris, pengawal bahasa-bahasa pribumi, dan intelektual penutur Inggris pula.

Tokoh karismatik India, Mahatma Gandhi, misalnya, menggugat bahasa Inggris yang dia nilai telah membuat masyarakat di negerinya terasing, keracunan, terdenasionalisasi, dan bermental budak, baik dalam kehidupan pribadi maupun publik. Gandhi berbahasa ibu Gujarat dan fasih berbahasa India yang lain seperti Hindi, Tamil, Telugu, Malayam, serta Marati. Kepada rakyat India, ia selalu mengingatkan agar tak melupakan bahasa sendiri dan menggunakan Inggris hanya di lingkungan pekerjaan atau kesempatan resmi lain. Artinya, Gandhi sebenarnya tak anti-Inggris sepenuhnya. Sebagai penganjur asas swaray dan swadeshi, ia sangat menjaga kemurnian identitas bangsanya dari serbuan budaya luar.

Di Kenya, Afrika Timur, penulis Ngugi wa Thiong’o mengkritik dominasi bahasa Inggris sebagai kepentingan kolonial yang bersekutu dengan segelintir kecil elite di negerinya. Kenya mengalami penjajahan sejak akhir abad ke-19 tetapi berprinsip mengutamakan kepentingan Afrika. Itu sebabnya ketika merdeka (1963), negeri itu memilih Swahili sebagai bahasa nasional meski Inggris jadi bahasa resmi. Organisasi Negara-negara Afrika juga mendorong pemakaian bahasa pribumi benua itu untuk keperluan pendidikan, ekonomi dan komunikasi, baik pada aras nasional, regional, maupun kontinental.

Para ”pewaris” Naziisme menuduh British Council, sama halnya kurikulum resmi bahasa Perancis, sebagai wujud imperialisme budaya. Keduanya dikecam melakukan ”penyeragaman linguistik” yang secara intelektual dan spiritual mengekang dan mengancam budaya beserta nilai-nilai kreatif yang bersumber dari bahasa lain. Begitu pula para pemikir Kiri ”mazhab” Sovyet tempo dulu menuding Inggris sebagai bahasa dunia kapitalisme dan dominasi dunia. Inggris juga ditengarai melakukan tekanan dengan menggusur bahasa-bahasa lain yang berkompetisi dengan ”bahasa imperialis” itu.

Beberapa anggota parlemen Eropa prihatin bahwa kuasa Inggris atas ekonomi, ilmu pengetahuan, dan teknologi bisa jadi ancaman terhadap bahasa dan kebudayaan komunitas Eropa umumnya. Kekhawatiran serupa terjadi di Quebec, Kanada, yang mayoritas berbahasa Perancis, dan Meksiko yang mewarisi Spanyol. Kedua negeri itu mepet bertetanggaan dengan Amerika Serikat yang beringgris-ria—sampai-sampai muncul sindiran bahwa keduanya ”begitu jauh dari Tuhan, tapi begitu dekat dengan Amerika”.

Boleh jadi Inggris kadung kuat untuk dilawan, apalagi dalam alam raya globalisme masa kini. Maka, sikap yang bijak adalah mengikuti anjuran yang sebenarnya sudah sering terdengar: menggunakan bahasa Inggris secara tepat guna, misalnya seperti saran Gandhi. Seiring dengan itu, bahasa kita sendiri—lokal dan nasional—harus terus dirawat dan dikembangkan agar mampu bersanding setara dengan bahasa-bahasa lain, termasuk dengan sang dominan.

KASIJANTO SASTRODINOMO, Pengajar pada Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya UI

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya

Komentar
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com