Neo-ottomanisme, Kemalisme, dan Erdogan

Kompas.com - 16/09/2011, 08:26 WIB

Oleh: Trias Kuncahyono

Rania Abouzeid dalam laporannya dari Kairo, Mesir, untuk majalah Time (Selasa, 13 September 2011) menulis, kedatangan PM Turki Recep Tayyip Erdogan ke Mesir disambut laksana bintang rock. Ribuan anak muda yang terlibat dalam Revolusi Februari yang berpuncak dengan mundurnya Presiden Hosni Mubarak mengelu-elukan Erdogan.

Inilah kunjungan seorang pemimpin pemerintahan ke negara yang baru saja disapu gelombang revolusi. Erdogan, selain mengunjungi Mesir, juga mengunjungi Tunisia dan Libya. Ketiga negara itu boleh dikatakan belum ”duduk” mapan, terutama Libya, masih harus bersih-bersih: berjuang.

Apa tujuan Erdogan ke negara-negara itu? Mengutip pendapatnya Samuel Huntington, Turki yang memiliki pengalaman sebagai negara demokrasi bisa menjadi katalis dalam transformasi otokratik Timur Tengah dan mengonsolidasikan reformasi demokratik mereka. Dengan kata lain, Turki bisa menjadi role model bagi negara-negara itu.

Meski Turki, di dalam negeri, tengah mengalami pergulatan dua ”ideologi” besar yang memengaruhi kehidupan mereka, kebijakan luar negeri mereka, yakni antara neo-ottomanisme dan kemalisme (Ömer Taspinar, Turkey’s Middle East Policies, Between Neo-Ottomanism and Kemalism).

Neo-ottomanisme pada dasarnya adalah soft power Turki. Insting neo-ottomanisme lebih percaya diri dan kurang fokus pada ancaman kaum Kurdi. Neo-ottomanisme merangkul suatu visi geostrategik, granstrategik Turki sebagai aktor regional yang efektif dan terlibat langsung, mencoba menyelesaikan masalah-masalah global dan regional.

Karena itu, konsep neo-ottomanisme mungkin menimbulkan agenda imperial, tetapi dalam paradigma neo-ottoman ini, Turki tidak meneruskan kebijakan neo-imperalis sebagai bentuk kebangkitan kembali Kekalifahan Ottoman. Pendek kata, neo-ottomanisme ini sebagai ”soft power” menjadi jembatan antara Timur dan Barat, sebuah bangsa Muslim, negara sekular, demokratik, dan sebagai kekuatan ekonomi kapitalis.

Sementara itu, kemalisme adalah warisan Kemal Ataturk, yang secara resmi menjadi ideologi republik. Kemalisme ini memiliki dua pilar, yakni revolusioner dan sekularisme militan. Dulu, untuk mendirikan sebuah negara republik sekuler dan Barat, Kemal Ataturk menghapuskan Kesultanan Ottoman dan segala perangkatnya. Kemalisme memiliki sebuah ”misi peradaban” yang sangat dipengaruhi Revolusi Perancis, terutama tradisi antiklerikal Perancis. Karena itu, baik di Perancis maupun Turki, agama kemudian menjadi simbol ancient regime.

Pilar kedua kemalisme adalah nasionalisme assimilationis. Rezim Kemalis menolak konsep multikulturalisme; tidak ada struktur komunal yang akan berada di antara republik dan warga negaranya. Kaum kemalis menolak kosmopolitan multinasional dan multietnik. Karena itu, kelompok Kurdi dipandang sebagai ancaman keamanan dan integritas teritorial.

Pertarungan di antara dua ”ideologi” itulah yang juga mewarnai kebijakan luar negeri Turki sekarang ini. Dalam konteks visi geostrategik, neo-ottomanisme menghindari ekspansionisme imperalis, tetapi lebih menonjolkan diplomasi, politik, dan peran ekonomi high profile, untuk Timur Tengah dan Eropa.

Nah, perjalanan Erdogan ke Mesir, Tunisia, dan Libya serta dukungannya kepada Palestina, kiranya lebih merupakan ungkapan dari visi neo-ottomanisme.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya

Komentar
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com