Kompas.com - 13/08/2011, 22:42 WIB

Cerpen Benny Benke

1965

Ketika peristiwa berdarah penumpasan PKI meletus, Tulungagung adalah salah kota kabupaten di Jatim yang paling seru hiruk-pikuknya. Demikian dikisahkan bapak pada sebuah masa. Saat itu, kenang bapak, anak-anak sekalipun turut menenteng gaman bernama apa saja, untuk kemudian mencincang siapa saja yang dituding atau sekedar ditengarai anggota PKI. Sedangkan para ulama, dengan gagahnya menyerukan ganjaran berlipat ganda bagi siapa saja yang bisa menumpas sejumlah orang anggota PKI, maka bayarannya, "Sama halnya pergi ke Tanah Suci," ujar bapakku.

Bapak waktu itu adalah kandidat doktorandus dari sebuah universitas ternama di Jateng. Yang terpaksa tertunda wisudanya lantaran G 30 S meletus di Jakarta. Bukan karena skripsi bapak yang membidik tema Nasakom yang menjadi kendala. Tapi, semua proses belajar mengajar memang dipaksa berhenti untuk sementara, demi membersihkan siapa saja, dan apa saja dari pengaruh PKI.

Meski akhirnya bapak memang mengganti skripsinya, tapi bukan kisah skripsi dan kelulusan pada akhirnya, yang akan aku kisahkan. Juga bukan cerita bagaimana bapak dulu menyembunyikan, sekaligus menyelamatkan beberapa kawan kuliahnya yang dituding PKI, dan oleh karenanya, pada saat itu, pantas dihukum mati, dengan cara yang paling nista.

Juga bukan bagaimana bapak dulu, di Tulungagung menyaksikan anak-anak dan remaja tanggung laki-laki dengan bangga mencantolkan sejumlah daun telinga yang telah terpotong dari tempatnya, di leher mereka, dengan seutas tali. Atau bagaimana menohok bau anyir dan merahnya warna kali Brantas, yang tidak seberapa jauh letaknya dari rumah eyang putri dari pihak ibu, karena terlalu sesak oleh mayat-mayat orang-orang yang dianggap PKI.

Bukan itu semua yang akan aku tuliskan. Melainkan bagaimana bapak bisa emoh turut membantai orang-orang PKI, meski bapak juga tahu bagaimana PKI dulu menyudutkan umat Islam. Bahkan dengan garang, di banyak tempat di Jatim dan di Jateng, orang-orang PKI bisa dengan riang mengambil alih tanah milik para tuan tanah, dengan cara tak kalah berdarah-darahnya. Lewat cara mengadu amarah, menumpahkan darah.

Meski sebagai putra kyai sekaligus saudagar ternama dari Padangan, sebuah kecamatan dari kabupaten Bojonegoro, bapak dibesarkan dalam naungan kaum Nahdliyin totok. Demikian halnya ketika kedua orang tuanya, eyang kakung dan eyang putri kami mengirim bapak belajar mengaji ke Krapyak, Yogyakarta ketika masih belia. Sebelum akhirnya melemparkannya ke Surabaya hingga SMA, dan akhirnya kuliah di Semarang, tetap tidak menjadikan bapak berpikiran ekseklusif.

Oleh karenanya, ketika banyak nyawa orang-orang PKI melayang, juga orang-orang dituduh PKI meregang, bapak tidak turut peran serta. Meski tentu saja, dengan sangat menyesal, bapak tidak juga dapat mencegahnya. Meski bapak, sekali lagi, juga sangat tahu ketika berada di Jakarta, poster-poster, spanduk-spanduk, grafiti-grafiti, selebaran-selebaran dari orang PKI nada bunyinya menggidikkan bulu roma, dengan pilihan bahasa yang sangat menista. Mengintimidasi siapa saja, tanpa pandang bulu, dengan kalkulasi politik seolah tiada tandingannya.

Bapak adalah bapak yang mampu malihrupa menjadi malaikat, dan dengan sendirinya mampu tidak tidur selama berhari-hari, berbulan-bulan, bahkan bertahun-tahun, demi mengawasi perkembangan semua anak-anaknya. Tidak itu saja, bahkan ketika subuh belum menjelang, dan adzanya masih jauh dikumandangkan, berjilid-jilid sedekah telah bapak siapkan, bagi siapa saja yang paling pagi menegakkan nafkah.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya

Komentar
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com