Humanisme Versus Banditisme

Kompas.com - 08/08/2011, 08:21 WIB
OLEH: PASCAL S BIN SAJU

Berita, video, dan foto yang dirilis media tentang wajah Somalia hari-hari ini membuat kita miris. Tampak negeri itu gersang. Anak-anak kurus dan ibu-ibu hamil kerdil menatap kosong. Lalat silih berganti mengerubuti mulut, hidung, dan mata mereka. Sesama kita ini ibarat ”mayat” hidup.

Somalia sedang dilanda kelaparan hebat. Pada bulan suci Ramadhan ini, banyak warga Muslim Somalia berpuasa tanpa sahur, tulis wartawati Mesir, Noha Radwan, di harian Al Anba, Kamis (4/8). Perserikatan Bangsa-Bangsa mengatakan, Somalia darurat pangan. Lima wilayah telah didera kelaparan terburuk dalam 60 tahun ini. Pekan ini sudah ada 29.000 anak balita tewas, 640.000 anak dalam kondisi kekurangan gizi akut, juga rentan. Ada 12 juta warga terancam kelaparan.

Kondisi-kondisi faktual dan krusial itu mendorong lahirnya solidaritas internasional bagi Somalia. Bantuan logistik darurat digalang demi mendenyutkan kembali nadi sesama yang lemah di kawasan Afrika Timur itu—termasuk juga untuk Djibouti, Etiopia, Kenya, dan Uganda.

Namun, humanisme yang tumbuh di Somalia itu kini dihadang banditisme. Bantuan logistik hasil dari solidaritas internasional yang digalang PBB justru sulit disalurkan. Al Shabab, sayap Al Qaeda di Tanduk Afrika, melarang distribusi pangan.

Hari Jumat (5/8), sekelompok pria bersenjata yang diidentifikasi sebagai ekstremis menyatroni truk bantuan pangan di kamp pengungsi di Mogadishu. Setelah terlibat baku tembak dengan aparat tentara pemerintah, mereka akhirnya meninggalkan kota. Aksi mereka nekat.

Para mantan pejuang Al Shabab sendiri melukiskan kelompoknya itu ”kejam, tidak berperikemanusiaan”. Selain menculik anak-anak dari sekolah dan rumah untuk direkrut, Al Shabab mencegat, dan jika perlu membunuh, setiap warga yang sedang berjuang keras mencapai pusat-pusat distribusi pangan.

Banyak prajurit remaja Al Shabab berusia 12-18 tahun—ada bahkan yang 8-9 tahun. Abshir Mohammed Abdi (17), salah satu pejuang yang ”bertobat” dan kini di Mogadishu, menuturkan, ”tak ada kehidupan, tak ada harapan” di Al Shabab.

Bandit menegasikan hampir semua hal yang oleh umum dianggap baik. Mereka ingin menghancurkan dan membunuh. Dalam kondisi di mana dibutuhkan prasyarat rasa kemanusiaan, mereka justru bertindak sebaliknya secara ekstrem. Orang lapar dicegah mencari makan. Manusia menjadi serigala bagi sesama (homo homini lupus).

Sejak pecah perang saudara pada tahun 1991, Somalia tercabik dalam beberapa bagian yang masing-masing dikuasai kelompok perlawanan tertentu. Belakangan, negara ini dikategorikan sebagai salah satu negara gagal. Empat tahun ini Somalia berturut-turut berada di urutan pertama peringkat negara gagal dan negara paling berbahaya di dunia.

Peringkat berdasarkan survei The Fund for Peace, lembaga penelitian nirlaba di Washington, Amerika Serikat. Ketika menerbitkan Indeks Negara Gagal 2011, lembaga survei ini menempatkan Somalia di urutan pertama negara gagal dari 177 negara. Pemerintahan, keamanan, ekonomi, dan sektor-sektor vital lain tidak berjalan (fundforpeace.org).

Somalia terperosok dalam kekerasan senjata, perang saudara, sejak 20 tahun silam (1991) ketika kudeta terhadap diktator Mohamed Siad Barre. Sejak itu antarsuku saling menyalahkan. Somalia tidak lagi memiliki pemerintah nasional yang efektif. Pelanggaran hukum meluas. Terorisme, pemberontakan, dan perompakan merepotkan seluruh dunia.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya

Komentar
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com