Absurd, Tiga Menteri Soal Ruyati

Kompas.com - 26/06/2011, 04:03 WIB

Oleh A.A. Ariwibowo   Dipancung untuk diakhiri hidupnya oleh algojo Arab Saudi telah dijalani Ruyati binti Satubi (54), seorang tenaga kerja wanita asal Indonesia, Sabtu (18/6/2011). Kini, masih ada 23 warga negara Indonesia yang terancam dihukum mati di Arab Saudi. Akankah kasus serupa berulang?

Dan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menginstruksikan pelaksanaan penghentian sementara (moratorium) pengiriman tenaga kerja Indonesia sektor informal ke Arab Saudi, efektif per 1 Agustus 2011.

"Saya juga meminta, berkaitan dengan moratorium, para warga negara Indonesia untuk patuh dan tidak berupaya sendiri-sendiri, mencari jalan pintas untuk nekad," katanya pada jumpa pers di Kantor Presiden, Jakarta, Kamis.

Tiga menteri tampil menjelaskan seputar tragedi Sumiyati dan perlindungan negara terhadap para TKI di luar negeri.

Ketiganya merespons berbagai reaksi masyarakat, dari permintaan lengser pejabat yang berwenang sampai ajuan pertanyaan ironis, di mana negara ketika para TKW itu dipancung, diperkosa, dianiaya, disiksa bahkan diperlakukan sebagai budak oleh sang majikan.

Media cetak dan elektronik mengisi ruang publik dengan aneka dakuan (klaim) bahwa pemerintah telah kecolongan dengan eksekusi Ruyati. Padahal, pamerintah mengutip dana perlindungan sebesar 15 dolar AS per calon TKI. Absurd?

Tentu absurd karena hitung punya hitung, Kementrian Tenaga Kerja dan Transmigrasi menangguk penerimaan negara bukan pajak rata-rata Rp750 miliar per tahun. "Dari jumlah tersebut, sebesar Rp500 miliar berasal dari dana perlindungan TKI," kata analis kebijakan Migrant Care, Wahyu Susilo.

Lebih absurd lagi, ada perbandingan konyol, mengapa pemerintah Indonesia terkesan abai dengan nasib rakyatnya yang menyabung nyawa di luar negeri, sementara pemerintah Australia getol dengan perlindungan kepada hewan ternaknya yang dikirim ke Indonesia.

Televisi Australia memperlihatkan penyiksaan sapi di rumah pemotongan hewan (RPH) Indonesis. Penyiksaan itu membuat berang kelompok-kelompok perlindungan hewan di Australia dan meminta pemerintahnya bertindak tegas.

Soalnya bukan semata membandingkan manusia dengan sapi. Sebagai "animal rationale", mengutip pendapat filsuf Aristoteles, manusia menggunakan abstraksi untuk membentuk konsep umum guna menarik kesimpulan. Sebagai "zoon politikon", manusia mampu mengorganisasikan kompleksitas kota dan negara. Dan filsuf Nietzsche memberi peneguhan bahwa manusia secara mendasar dapat memegang teguh janjinya agar senantiasa bertanggungjawab.

Halaman:
Baca tentang
    Video rekomendasi
    Video lainnya

    Komentar
    Bagikan artikel ini melalui
    Oke
    Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com