Paradoks Joki Berdasi

Kompas.com - 14/01/2011, 03:05 WIB

Sri Palupi

Selain joki ujian masuk perguruan tinggi negeri dan joki 3 in 1, kini kita mengenal joki napi alias praktik menggantikan hukuman narapidana.

Demi Rp 10 juta, Karni rela meringkuk di penjara menggantikan Kasiem, terpidana kasus korupsi. Karni dan Kasiem adalah potret kehidupan ekonomi politik Indonesia yang sarat dengan joki. Kesenjangan ekonomi yang kian lebar bahkan menciptakan paradoks joki berdasi.

Joki berdasi

Sosok seperti Kasiem tidaklah sendirian di republik ini. Kasiem adalah potret perilaku mayoritas elite politik-ekonomi yang cenderung korup dan suka kemewahan. Lihatlah perilaku wakil rakyat ketika mengawali kerjanya tahun ini. Di saat mayoritas rakyat memasuki tahun baru dengan kondisi hidup yang sarat beban, DPR justru bersikukuh membahas kembali rencana pembangunan gedung baru yang bernilai triliunan rupiah. Setali tiga uang, DPRD DKI Jakarta juga mengawali tahun baru dengan menganggarkan Rp 2,5 miliar untuk pembelian mobil mewah.

Rendahnya kinerja dan integritas DPR/DPRD menjadikan posisi DPR/DPRD tak lebih sebagai ”joki berdasi”. Sebagai joki, kerja mereka mengambil hak rakyat dan menggantikan posisi rakyat dalam menikmati kemakmuran. Sudah jamak kalau anggota DPR/DPRD lebih sibuk bernegosiasi untuk posisi dan proyek daripada memperjuangkan kepentingan rakyat. Itulah mengapa sangat sedikit anggaran pembangunan yang menetes ke bawah.

Pemerintah belum lama ini mencanangkan niat untuk menghemat anggaran. Namun, kenyataannya, anggaran sebesar Rp 3,4 miliar dialokasikan pemerintah untuk membiayai renovasi rumah dinas menteri keuangan. Realisasi biaya perjalanan dinas dalam APBN meningkat, dari Rp 15,7 triliun di tahun 2009 menjadi Rp 19,5 triliun di tahun 2010. Padahal, BPK menemukan banyak penyimpangan dalam anggaran perjalanan dengan modus perjalanan fiktif, tiket palsu, dan pembayaran ganda.

Nafsu menumpuk kekayaan dan menikmati kemewahan mendorong perilaku korup di kalangan para elite. Hasil pemeriksaan BPK menunjukkan, dari 528 obyek yang diperiksa pada semester pertama 2010, ada 10.113 kasus penyelewengan anggaran senilai Rp 26,12 triliun.

Dari jumlah ini, yang dikembalikan ke kas negara baru Rp 93,01 miliar atau 0,36 persen dari total anggaran yang diselewengkan. Padahal, penyelewengan terjadi setiap tahun. Tidak heran kalau penguasa getol menambah utang, sebab mengurangi utang akan berarti mengurangi peluang menambah kekayaan.

Kuda beban

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya

Komentar
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com