Penerapan sistem
Salah satunya Ana (35). Ibu satu anak ini terpaksa menjadi joki setelah suaminya meninggal karena motor yang dikendarainya mengalami kecelakaan. ”Suami saya tidak tertolong lagi,” katanya.
Ana mempunyai satu anak perempuan bernama Erna (15) yang masih bersekolah SMP Negeri 3 Jakarta. Ana ingin anaknya sekolah setinggi mungkin. ”Pendidikan sangat penting untuk masa depannya. Saya ingin dia bisa mencari kerja selain menjadi joki seperti saya.”
Sebagai joki, dia menunggu di tepi Jalan Pejompongan, Jakarta Pusat, bersama puluhan joki lainnya. Ibu muda ini menawarkan jasa hingga daerah Kuningan, Jakarta Selatan. Dari situ, dia kembali lagi ke Senayan untuk mencari pelanggan baru.
Apabila usahanya beruntung, Ana bisa mengantongi rezeki lebih banyak. Pada Senin (29/11) pagi, jasa Ana digunakan oleh dua pemilik mobil sehingga dia bisa mengantongi Rp 30.000. Setelah dipotong uang makan siang Rp 3.000, masih tersisa uang Rp 27.000. Sisa upah joki itu dipakai untuk membeli kebutuhan pokok, ongkos sekolah Erna sebesar Rp 10.000 per hari, dan buku pelajaran.
Namun, keberuntungan tidak selalu menghinggapi Ana. Terkadang pagi ada yang menggunakan, pada sore hari tak satu pun pemilik mobil memakai jasanya. ”Dua jam menunggu di tepi jalan, tidak ada satu pun mobil yang berhenti,” katanya.
Peraturan berkendara
Semula peraturan itu untuk mengurangi kemacetan yang terjadi pada jam-jam sibuk, yakni berangkat dan pulang kerja. Kenyataannya, peraturan itu tidak seperti yang diharapkan. Malah membuka kesempatan bagi orang-orang untuk mencari penghasilan baru.
Selain tanpa keahlian atau kecakapan khusus, pekerjaan itu juga tidak memerlukan ijazah atau sertifikat apa pun. Upah seorang joki berkisar Rp 10.000-Rp 20.000 per orang. Asalkan mau bangun pagi-pagi, rela berdiri di pinggir jalan, dan siap menerima semburan asap knalpot. Tak perlu kecakapan khusus, cukup mengacungkan tangan kepada para pengendara yang melintas di depan mereka. Di kalangan para joki tidak ada persaingan, meskipun mereka berdiri di jalan yang sama.