Khawatir Renminbi Lintas Batas Negara

Kompas.com - 23/06/2010, 02:59 WIB

RENÉ L PATTIRADJAWANE

Ada kenyataan yang tidak bisa dimungkiri, tata hubungan internasional di segala bidang pada abad ke-21 sedang mencari bentuk-bentuk baru, meninggalkan pola lama era Perang Dingin dan kebangkitan kekuatan baru di berbagai penjuru dunia. Dan kambing hitam dalam mencari pola baru dalam globalisasi ini adalah mata uang China, renminbi (yuan).

Bentuk globalisasi selama ini menghadirkan kenyataan baru. Berbagai doktrin dalam neoliberalisme, perdagangan bebas, dan pasar terbuka yang dikokohkan siapa saja menuai kritik di mana-mana menjadi rancu karena mengganggu kepentingan bangsa dan perusahaan besar dan kuat dalam upaya membentuk diri dalam dunia yang berdagang bebas.

Kita semua terkesima. Memberikan komentar seolah-olah tekanan dunia terhadap China untuk mengambangkan mata uang yuan akan membantu ekspor masing-masing negara ke China, meningkatkan daya saing dalam perdagangan bilateral, menjadikan China sesuai dengan kehendak dunia.

Ketika Margareth Thatcher menjadi Perdana Menteri Inggris dan dikenal dengan slogan TINA (there is no alternative), kenyataan perkembangan globalisasi menyatakan lain. Thatcher didukung Reagan dan Nakasone pada dekade 1990-an percaya kalau ekonomi liberal akan menjadi segala-galanya dan menjadi pijakan dasar dalam mengembangkan perdagangan dunia.

Globalisasi menyatakan lain karena China ternyata memberikan alternatif lain yang kemudian memunculkan kekuatan-kekuatan baru ekonomi dan perdagangan dunia. Menghadirkan alternatif kemunculan negara BRIC (Brasil, Rusia, India, dan China) dengan pilihan kesejahteraan yang berbeda.

Harga hamburger

Persoalan devaluasi mata uang renminbi tidak melulu menjadi persoalan ”Big Mac Index” seperti yang dipopulerkan oleh majalah The Economist terbitan Inggris yang membandingkan harga hamburger McDonald's dalam teori yang disebut sebagai burgernomics. Teori ini untuk menentukan apakah nilai tukar mata uang sesuai dengan indikasi PPP (purchasing-power parity) dan mata uang tersebut undervalued atau overvalued.

Kita harus melihat ada sebuah kenyataan baru. Negara terkaya di dunia tidak lagi dengan jumlah penduduk yang paling sedikit sebagai sebuah peninggalan sejarah yang sudah usang. Ada kenyataan lain yang muncul di era globalisasi.

Kalaupun China dan India tidak pernah bisa melampaui status sebagai negara dengan penghasilan menengah karena pembagi terhadap jumlah penduduknya yang masif, struktur ekonomi kedua negara ini bergerak menjadi kekuatan nomor dua dan nomor tiga, dan bahkan nomor satu kalau AS tidak segera memperbaiki situasi ekonominya, sebagai kenyataan yang akan kita hadapi sepanjang abad ke-21 ini.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya

Komentar
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com